Salam nalar dan logika
Davit Segara
Insan Pers yang Masih Waras
Ramanews.tv
Sebagai insan pers yang sudah kenyang disalahpahami dan dikira buzzer, saya merasa perlu menulis ini demi mengingatkan para pejabat publik: jabatan Anda bukan pelindung dari kritik, justru undangan terbuka untuk disorot, dikoreksi, dan maaf dipertanyakan.
Tapi entah kenapa, belakangan ini banyak pejabat, dari Bupati hingga Kepala Pekon, yang kalau dikritik dikit langsung tersinggung seolah nama baiknya lebih suci dari kitab suci. Ada warga mengeluh jalan rusak di medsos, langsung dicap menyebar hoaks. Ada yang protes BLT nyasar ke rumah kepala desa atau juga kepala pekon, langsung disomasi. Halo? Demokrasi kita baik-baik saja, kan?
Kritik Itu Bukan Fitnah, Bro!. Mari kita luruskan: kritik itu bukan fitnah, bukan pula tanda benci. Justru kritik adalah bentuk cinta yang elegan ya walaupun kadang nadanya sumbang dan bahasanya pedas, itu karena rakyat udah capek manis-manisin pejabat yang kerjanya lebih banyak potong pita daripada potong anggaran korup.
Jika Anda alergi kritik, saya punya saran logis: pensiun saja dari jabatan publik dan buka usaha tambal ban. Di sana, kalau ada yang protes, palingan karena harga naik, bukan karena janji politik tak ditepati.
Kritik Adalah Vitamin, Bukan Racun. Dalam demokrasi yang sehat, kritik itu seperti vitamin C: nggak enak, tapi bikin imun kuat. Tapi anehnya, banyak pejabat yang justru menganggap kritik sebagai racun yang harus dienyahkan, ditangkis, atau lebih parah dibawa ke ranah pidana. Maaf ya, Pak/Bu, ini negara hukum, bukan kerajaan kecil tempat rakyat harus tiarap kalau bicara.
Kalau masih berpikir bahwa semua kritik adalah serangan terhadap kehormatan pejabat, berarti kita sedang menghadapi pejabat yang mental sosial medianya belum lepas dari fase curhat alay.
Sekarang izinkan saya menyampaikan sebuah kalimat sakral dalam ilmu kewarganegaraan dasar: Rakyat itu bukan anak buah pejabat. Jadi ketika rakyat bersuara, itu bukan sedang melawan, tapi sedang mengingatkan.
Ingat, jabatan Anda bukan hasil sayembara dari langit, tapi hasil pilihan rakyat. Dan rakyat tidak hanya punya hak memilih, tapi juga hak mengevaluasi, mengkritik, dan kalau perlu minta Anda mundur dengan cara yang santun tapi mematikan: lewat demokrasi lima tahunan.
Stop Menyamakan Kritik dengan Penghinaan. Ada kecenderungan pejabat sekarang gampang panik. Dikit-dikit: “Ini pencemaran nama baik saya!” Lho, kritik itu bukan pencemaran, itu pembersihan. Ibarat cucian, memang nggak enak digosok, tapi itu biar kotorannya rontok. Kalau mau tetap kinclong tanpa disikat, ya jangan kena lumpur. Tapi bagaimana bisa bersih, kalau Anda sendiri berkubang di situ?
Kalau Tak Mau Dikritik, Jadi Vlogger Kuliner Saja. Jadi begini, para pemilik mandat publik yang terhormat, kalau Anda merasa terlalu sensitif dengan kritik, mungkin Anda bukan pemimpin, tapi public figure gagal paham. Karena pemimpin sejati itu justru tumbuh dari kritik, bukan dari pujian sambil ngopi bareng kolega.
Saran terakhir dari saya sebagai insan pers: Kalau masih trauma dikritik, lebih baik jadi vlogger kuliner. Paling banter dikritik soal mic ngga nyala atau sambal keasinan. Aman.