Bangunan Milik Pengusaha Kerap Tumbur Aturan, Warga Minta Pemkot Metro Adil

Ramanews|Metro – Sejumlah warga di Kota Metro mengeluhkan penegakan aturan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) setempat terkait berdirinya sejumlah bangunan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), yang diduga menabrak aturan-aturan yang ada.

Pagar tembok milik Hotel Aidia Grande Kota Metro yang berdiri di atas aliran anak sungai.

Seperti misalnya bangunan milik Kost Lintang dan Hotel Aidia Grande Kota Metro yang terletak di wilayah Kelurahan Metro, Kecamatan Metro Pusat. Kemudian, Taman Edukasi di Metro Timur dan kawasan agrowisata Kebun Melon milik UD Bawang Lanang di Hadimulyo Barat, Metro Pusat.

Sejumlah warga lingkungan RT 45, Kelurahan Metro, Kecamatan Metro Pusat menyoal keberadaan bangunan milik Kost Lintang dan Hotel Aidia Grande Kota Metro yang diduga melanggar aturan.

Pasalnya, tembok milik pengusaha perhotelan dan rumah kost itu dibangun di atas aliran anak sungai yang berada di kawasan tersebut, hal itu dirasa berdampak tidak baik terhadap permukiman warga di lingkungan sekitarnya.

Salah seorang warga RT 45 Kelurahan Metro bernama Sri, mengungkapkan kondisi rumahnya yang terletak di belakang Hotel Aidia Grande kerap digenangi air saat hujan. Dia menduga hal itu disebabkan adanya penyempitan aliran anak sungai dan keberadaan jaring-jaring besi yang sengaja dipasang di tengah saluran dan justru menyebabkan laju air menjadi terhambat.

“Ya gitu, kalau pas hujan deras, air dari situ meluap naik sampai masuk ke dapur. Tingginya bisa sampai sebatas pinggang lo. Malah itu rumah yang di sebelah itu aja, malah bisa-bisa sampai hampir tenggelam. Seperti misalnya tempo hari itu waktu kami sekeluarga lagi makan di luar, kebetulan pas kami pulang itu lagi hujan deras dan begitu sampai di jalan masuk arah ke rumah, ya Allaaaaah, sudah tinggi sekali genangan air itu,” ucap Sri saat dikonfirmasi Ramanews.tv, Selasa, 20/12/2022.

Suatu ketika, lanjut Sri, dia bersama sejumlah warga setempat pernah mendatangi pengelola Hotel Aidia dan mengeluhkan hal itu kepada pihak perhotelan tersebut. Namun, perwakilan dari tempat penginapan modern itu mengklaim pihaknya sudah mengantongi izin dari Wali Kota Metro.

“Jadi pernah warga sempat mendatangi pihak hotel, tapi mereka bilang kalau mereka sudah diberi izin sama Pak Wali Kota terkait penyempitan aliran ini. Sebenarnya kami sih kurang yakin soal itu. Juga mereka pernah bilang kalau sudah telepon Pak Wali waktu ada banjir di sini dan tidak lama kemudian sekitar jam 11 malam, Pak Wali memang datang dengan rombongan ke permukiman kami dan Hotel Aidia, jadi ya sudahlah,” bebernya Sri sembari menepuk dada.

Terpisah, Ketua RT 36, Kelurahan Hadimulyo Barat, Kecamatan Metro Pusat, Joni Indra merasa Pemkot Metro seolah tebang pilih menindak kasus serupa. Pasalnya, Joni mengaku wilayahnya sempat didatangi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pada Rabu, 9 November 2022 lalu dan saat itu sejumlah warga diminta untuk membongkar bangunan di atas saluran irigasi yang dinilai melanggar aturan.

“Iya. Jadi kan memang di RT 35a itu ada dua bangunan warga yang sudah dibongkar. Kalau di RT 36 ini cuma ada satu, masih berupa pondasi bangunan. Itu diminta bongkar karena melanggar aturan,” kata Joni saat dikonfirmasi Ramanews.tv melalui panggilan suara WhatsApps.

Sedangkan, lanjut Joni, di lingkungannya juga terdapat kawasan agrowisata Kebun Melon milik UD Bawang Lanang yang pagarnya dibangun di atas saluran irigasi juga. Tapi, Joni tidak pernah tahu Satpol PP pernah mendatangi untuk meminta pihak pengelola area itu membongkar bangunannya.

Sejumlah konstruksi bangunan di kawasan agrowisata Kebun Melon milik UD Bawang Lanang yang dibangun di atas jaringan irigasi tersier. Begitu juga dengan pagar pembatasnya.

“Itu Kebun Melon itu kan pagarnya dibangun di irigasi juga, mana Satpol PP? Disuruh bongkar juga dong seharusnya, kan sama-sama melanggar,” cetus Joni.

Sederet masalah pendirian bangunan di jaringan irigasi milik negara seolah menjadi hal yang lazim ditemukan di Bumi Sai Wawai. Warga Metro mengharapkan kebijakan Pemkot Metro berkeadilan dengan memprioritaskan kebutuhan masyarakat kecil, tidak cenderung atau condong ke pengusaha dengan alasan investasi dan pembangunan. Mengingat betapa keras larangan serupa digaungkan, apabila ada warga yang kedapatan mendirikan bangunan di atas saluran air.

Berdasarkan data yang Ramanews.tv himpun, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, itu terdapat aturan mengenai jarak bangunan yang harus berjarak 10-20 meter dari bibir sungai dan terdapat larangan didirikannya bangunan di sekitar sungai, anak sungai, drainase atau irigasi.

Kemudian juga pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengairan yang mengatur tentang garis sempadan sungai, irigasi dan drainase.

Lalu, Pasal 5 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Republik Indonesia (RI) Nomor 28/Prt/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau yang telah menetapkan mengenai lebar garis sempadan sungai.

Sedangkan, di dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahkan terdapat ketegasan berupa ancaman pidana bagi pelanggar DAS, di mana setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan kerusakan air dan prasarananya dan pencemaran air sebagaimana dalam pasal 25 huruf b dan d, serta pada pasal 36, dapat dipidanakan paling lambat 3 (tiga) tahun, paling lama 9 (sembilan) tahun, dengan denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak Rp 15 miliar dan apabila sengaja melakukan kegiatan konstruksi prasarana sumber daya untuk kebutuhan usaha, tanpa izin seperti dimaksud pada pasal 40 ayat 3 (tiga) dapat dipidanakan 3 (tiga) tahun penjara, dengan denda Rp1 miliar hingga Rp5 miliar.(*)[KikiAnggi]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *