Ramanews|Metro — Persoalan banjir di Kota Metro seakan tidak ada habisnya, ditambah lagi kondisi alam yang kian tidak menentu, dimana sepekan terakhir, intensitas curah hujan yang cukup tinggi, membuat sejumlah wilayah di Bumi Sai Wawai terendam banjir Sesaat.
Akibat kondisi ini, banyak dampak negatif yang ditimbulkan, terutama pada masyarakat, mulai dari kesehatan, ekonomi terhambat dan kerugian karena kerusakan disebabkan banjir.
Masalah banjir di Kota Metro tidak bisa dipandang sebelah mata. Apa lagi hanya digunakan sebatas ajang momentum sok peduli dengan rakyat oleh beberapa tokoh kota untuk kepentingan tertentu, seperti menaikan popularitas, elektabilitas dan nilai elektorat. Pasalnya ketika curah hujan meningkat, dahulu Metro tidak separah sekarang.
Banyak kalangan, terutama masyarakat terkait kinerja pemerintah dalam penanggulangan masalah banjir, ditambah lagi persoalan banjir menjadi salah satu sembilan program unggulan Wali Kota Metro yang hingga saat ini belum dapat terealisasi.
Lalu banjir ini salah siap…?
Kondisi Kota Metro yang dulunya terkenal dengan lokasi yang tenang dan nyaman untuk tempat tinggal, hari ini kian memburuk. Banyak indikator penyebab terjadinya banjir. Dari sini, harapannya masyarakat Kota Metro tidak mudah terburu-buru menyalahkan pihak-pihak tertentu.
Penyempitan, sumbatan pada drainase dissinyalir menjadi faktor penyebab terjadinya banjir. tidak hanya itu, penataan tata ruang, mudahnya perizinan pembangunan perumahan yang tidak memikirkan dampak lingkungan untuk jangka panjang. Hal demikian seharunya menjadi pekerjaan rumah, analisa serta evaluasi bagi para pemangku kebijakan di Bumi Sai Wawai. Tentu bisa disiasati agar kuantitas pembangunan di Kota Metro bisa terarah dan berkelanjutan.
Lalu banjir ini salah siapa..?
Masalah sepele misalnya, keberadaan ruko dan gedung yang merenggut hak pejalan kaki. Trotoar yang semula berdiri, dihancurkan dan dibangun kembali tanpa memperhatikan spek/kwalifikasi awal, tentu ini berdampak terjadinya penyempitan ruang pada saluran air dan belum teratasi tidak ada solusi.
Termasuk parkir liar di pinggir jalan, beban berat berimbas langsung pada tanah yang beririsan dengan trotoar dan saluran air membuat tanah terkikis seiring berjalannya waktu. Pemandangan parkir liar yang memakan badan jalan sering dijumpai saat melintas di jantung Kota Metro, seperti Jalan Protokol Jendral Sudirman, A.H Nasution, Imam Bonjol dan Jalan Ahmad Yani.
Mengingat fungsi trotoar yang merupakan infrastruktur dasar bagi masyarakat sebagai sarana sanitasi dan fasilitas pejalan kaki, hal demikian termasuk pelanggaran. Aturan tersebut tertera di undang-udang (UUD) No. 22 Tahun 2009, pasal 274 ayat 2 dan pasal 275 ayat 1.
Bangunan yang berdiri tanpa memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) menjadi salah satu faktor lain penyebab hambatan saluran air. Hal tersebut jelas memberikan dampak yang signifikan saat curah hujan tinggi mengguyur Bumi Sai Wawai seperti sekarang.
Sebab, bangunan yang berdiri di sekitar wilayah saluran air akan menghambat laju gerak air yang melintas. Hebatnya, kasus pembangunan seperti ini lulus dan mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tidak perlu menyalahkan siapa pun, karena itu sudah bagian dari tabiat yang sulit diubah oknum penguasa di Indonesia untuk meraup keuntungan.
Selain itu, Kota Metro yang merupakan kota pendidikan, seakan berbanding terbalik dengan kebiasaan masyarakat yang seakan kurang terdidik, seperti tidak memperdulikan aturan, buang sampah sembarang tempat, selalu dianggap remeh dan sepele. Disaat sampah menjadi sumbatan yang menyebabkan banjir mereka saling teriak, apa kerja pemerintah.
Belum lagi pendirian bangunan diatas saluran irigasi, sehingga pemerintah dilema melakukan normalisasi saluran air. Seharusnya, masyarakat juga harus cerdas dan tahu diri, atau selamanya tertindas karena kebodohannya sendiri. Jangan bermimpi untuk merubah peradaban, jika kebiasaan buang sampah belum bisa ditinggalkan.
Lalu Banjir di Kota Metro salah siap…?