Pringsewu – Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern yang ditopang oleh prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, munculnya fenomena “alergi konfirmasi” di kalangan pejabat publik Kabupaten Pringsewu menjadi sorotan serius kalangan insan pers dan masyarakat sipil.
Kritik keras disampaikan Supardi, Kepala Biro tbinterpol.com wilayah Kabupaten Pringsewu, yang menilai sikap sebagian pejabat pemerintahan sebagai bentuk regresi etika informasi di era keterbukaan.
Menurut Supardi, pejabat publik mulai dari kepala pekon, camat, hingga kepala dinas dan bahkan anggota legislatif lokal, menunjukkan pola komunikasi yang represif dan pasif saat dikonfirmasi terkait temuan-temuan lapangan oleh jurnalis.
Hal ini, kata dia, tampak dari minimnya respons mereka terhadap pertanyaan wartawan, khususnya melalui kanal komunikasi digital seperti aplikasi pesan instan.
“Dalam banyak kasus, konfirmasi media yang semestinya menjadi ruang klarifikasi dan transparansi justru diperlakukan seolah-olah ancaman. Responsnya pasif, cenderung dingin, dan bahkan diabaikan. Ini adalah gejala struktural dari krisis keberanian dalam mengelola komunikasi publik,” ujar Supardi, Minggu (15/06/2025).
Supardi menekankan bahwa pejabat publik memiliki tanggung jawab moral sekaligus konstitusional untuk membuka akses informasi kepada masyarakat. Hal ini, menurutnya, bukan sekadar formalitas, tetapi bagian dari esensi demokrasi deliberatif yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama tata kelola.
“Pejabat publik terlebih mereka yang memegang amanah legislatif tidak hanya dituntut menjawab pertanyaan teknis, tetapi juga harus mampu memberikan keterangan yang mencerdaskan, membangun optimisme publik, serta menjamin adanya kepastian hukum di balik setiap kebijakan yang mereka keluarkan,” lanjutnya.
Ia menilai sikap “baperan” alias terlalu sensitif terhadap kritik yang dibalut konfirmasi media adalah bentuk ketidaksiapan struktural dalam menerima evaluasi publik. Padahal, dalam sistem yang sehat, kritik justru menjadi bagian dari proses penyempurnaan kebijakan.
Lebih jauh, Supardi mengingatkan bahwa media bukanlah oposisi kekuasaan, melainkan pilar keempat demokrasi yang berfungsi sebagai jembatan informasi antara pemerintah dan warga negara. Ketidaksediaan pejabat untuk membuka ruang dialog kepada media justru berpotensi memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
“Kami bukan sekadar mengutip dan menulis, kami berupaya menghadirkan kebenaran secara proporsional. Maka, jika pejabat publik menutup pintu konfirmasi, mereka sejatinya sedang menutup akses akal sehat masyarakat terhadap realitas kebijakan,” tegasnya.
Aktivis-aktivis lokal turut mendukung pandangan tersebut. Mereka menyerukan pentingnya reformulasi ulang cara pandang pejabat terhadap media sebagai mitra strategis dalam menyebarluaskan informasi pembangunan.
Salah satu aktivis menyebut bahwa pejabat semestinya tidak hanya responsif secara administratif, tetapi juga adaptif secara moral dalam menyikapi dinamika sosial yang berkembang.
“Kami berharap agar pejabat publik di Pringsewu mulai membangun kultur komunikasi yang sehat dan terbuka. Profesionalisme birokrasi harus disertai dengan kepekaan terhadap kebutuhan informasi publik. Karena dalam demokrasi, silence is never neutral,” pungkas Supardi.
Fenomena ini menjadi catatan kritis terhadap iklim komunikasi pemerintahan daerah. Di tengah meningkatnya harapan masyarakat terhadap transparansi, keberanian pejabat untuk membuka diri terhadap kritik bukan hanya diperlukan, tetapi juga menjadi indikator utama integritas dan legitimasi kepemimpinan publik.
Penulis : Davit Segara