Wartawan Jadi Tadah Liur Calon Penguasa

Ramanews|Memahami istilah ini dengan merujuk pada media yang partisan atau memiliki afiliasi politik dengan partai dan kontestan pemilu. Tidak salah dengan anggapan ini. Profesi Wartawan dan Media jadi kepentingan politik dan bisnis pemilik. Oligarki pengusaha media dan kekuatan politik.

Fase terendah profesi wartawan itu ketika, profesi ini dilihat tak lebih dari bagian kelompok kepentingan politik pragmatis, serakah, culas dan penipu. Para pemilik perusahaan media itu, mana mau tahu. Mereka tetap bertahan pada prinsip, sama kepentingan politik dan pribadi. Mereka lupa, media masa bekerja untuk publik, bukan pemilik. Tapi kepentingan pemilik mengalahkan itu semua.

Pada praktiknya, media juga lebih gemar melayani omong kosong pejabat. Pejabat ngomong apa, ya itulah yang diambil. Media dan wartawan seperti ini, cuma jadi tadah ludah para pejabat, atau pemilik kepentingan saja. Gak tau ya faktor nya apa? Apa mereka kurang belajar, atau memang mereka jadi tadah liur narasumber.

Pada situasi itu, profesi sebagai wartawan dan media hanya sebatas alat bagi para pejabat itu untuk menyampaikan sesuatu. Pejabat itu, pasti akan menyampaikan hal yang baginya positif. Paling tidak hal normatif. Asal tidak negatif dan berimplikasi buruk pada citra si pejabat itu. Kita banyak sekali melihat berita berita kayak gitu, di semua platform media masa. Porsi publik bicara sangat sedikit ketimbang si pejabat itu sendiri.

Apakah ada yang salah? Ya gak juga, kalo dilihat dari prinsip jurnalistik dasar, yaitu konfirmasi. Media hanya membuat panggung untuk para pemilik kepentingan,atau narasumber. Publik hanya melihat para elit saling bantah, saling tuding, saling pinter-pinteran.

Praktik jurnalisme seperti ini yang paling parah sebenarnya itu adalah defisitnya prespektif kemanusiaan, sehingga hilang nalar kritis seorang wartawan. Campuran antara media partisan dan ‘humas’, menegasikan fungsi jurnalis dan media masa sebagai alat kepentingan publik. Ketika jurnalis dan media masa terjebak hanya dengan menelan ucapan narasumber, di situlah awal dari matinya jurnalisme.

Matinya jurnalisme sebenarnya sudah terjadi di banyak media. Bisa dikatakan ini sebagai bunuh diri. Banyak media berlomba menjalin kerjasama mengikat dengan lembaga yang seharusnya diawasinya. Banyak media misalnya mempublikasikan pencapaian pemerintah daerah.

Jangan harap ada berita mengkritik yang diarahkan ke pemerintah daerah. Publik cuma dicekoki informasi searah yang berisi citra baik pemerintah. Ini tidak gratis. Media tersebut mendapatkan suplai uang, bisa berupa iklan atau program. Yang demikian disebut jurnalisme gincu!

Terlebih parah lagi, banyak profesi jurnalis, wartawan atau kelompok kelompok organisasi yang menjalin kerjasama dengan pemerintah, sehingga pemerintah harus mengeluarkan Anggaran daerah hingga miliaran rupiah, dengan harapan agar pihak pihak itu dapat ikut serta dalam mempublikasikan pencapaian pemerintah ke publik, tapi justru mereka malah jadi benalu dan berkhianat, dengan menyuguhkan informasi pembusukan pembusukan.

Seharusnya, anggaran miliaran rupiah yang seharusnya dapat digunakan lebih tepat sasaran, dalam memperluas informasi pencapaian pemerintah daerah, justru media yang bekerjasama, tidak pernah mendukung dan mempublikasikan informasi tentang pencapaian pemerintah, malah menggiring informasi ke publik menarasikan kegagalan pemerintah.

Seharusnya, seorang jurnalis atau dan media massa, menghindarkan diri dari sikap partisan. Jurnalisme itu menyibak kabut bagi publik dalam melihat persoalan. Bukan malah menghadirkan kebingungan dan ketidakjelasan.

Di masa kontestasi politik, kita mudah saja melihat praktik jurnalisme tanpa pemikiran kemanusiaan. Memang, ada media massa yang kebijakan redaksinya tidak terkontaminasi penyakit partisan. Pemilik media sekaligus pemilik partai yang terafiliasi dengan kontestan, mengintervensi ruang-ruang redaksi. Turut campur menentukan mana yang boleh dan tidak untuk dimuat yang disesuaikan dengan kepentingannya.

Sedangkan ada di antara media masa yang mendeklarasikan diri sebagai media netral. Apakah netralnya media masa dan jurnalis itu cukup? Pasti gak cukup bila dilihat dari pemikiran hak asasi manusia (HAM). Wartawan kritis tidak memberikan ruang pada sikap netral yang sebenarnya, sama saja mendiamkan kejahatan terjadi. Apa ukurannya? Kemanusiaan dan HAM yang sifatnya universal. Itulah panduan dasar dari jurnalisme kritis.

Penyimpangan yang terjadi ini memang kejam. Ketika kita mengkritik paslon, dengan cepat ada pihak yang menuding kita berpihak ke kubu calon lain. Wartawan dan media masa seharusnya memiliki acuan isu yang harus mereka konfrontasikan dengan para kontestan. Bukan sebaliknya, media malah kejebak sama isu-isu elitis yang diciptakan kontestan politik untuk disuguhkan paksa ke publik.

Dan yang paling mengerikan dari situasi ini, kaum oligarki itu berhasil menciptakan standar jurnalisme berdasarkan keinginan mereka. Pada akhirnya, praktik lacur, partisan dan bias itulah yang akan disebut sebagai jurnalisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *