Seorang pemimpin ideal adalah figur yang berlandaskan pada keutamaan moral dan intelektual. Sejak zaman Aristoteles, pemimpin dipandang sebagai seseorang yang mampu mewujudkan kebaikan bersama (common good) di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Dalam konteks pemerintahan daerah, seorang wali kota seharusnya menjadi representasi dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya. Ia mesti punya integritas, visi yang jelas, dan kemampuan untuk menavigasi kompleksitas sosial dan politik.
Namun, di era demokrasi modern, khususnya dalam konteks pemilihan langsung, kepala daerah yang ideal sering kali terhambat oleh realitas politik yang lebih pragmatis. Biaya politik yang tinggi, kebutuhan akan citra diri yang sempurna, serta pengaruh oligarki ekonomi menciptakan tantangan besar bagi seorang calon pemimpin.
Di sinilah fenomena “wali kota boneka” muncul, di mana seorang wali kota lebih menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu dari partai politik, kelompok elite, atau bahkan pemodal cum kekuatan ekonomi lokal.
Wali kota boneka adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang pemimpin daerah yang pada dasarnya tidak memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan strategis. Ia hanya menjadi simbol atau figur yang menjalankan agenda yang ditentukan oleh aktor-aktor lain di balik layar. Secara teoretis, fenomena ini bertentangan dengan prinsip demokrasi partisipatoris, di mana pemimpin diharapkan mewakili kehendak rakyat, bukan sekelompok kecil elite.
Tapi mengapa fenomena ini muncul? Salah satu jawabannya adalah biaya politik yang sangat besar dalam pemilihan langsung. Kampanye politik memerlukan dana yang besar, dari biaya logistik, iklan, hingga pencitraan diri. Di sinilah calon pemimpin kerap kali bergantung pada donasi dari individu atau kelompok berkepentingan yang, pada gilirannya, menuntut timbal balik berupa pengaruh dalam kebijakan atau proyek-proyek daerah. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih sering kali berutang pada kelompok-kelompok ini dan menjadi alat untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis mereka.
Lalu, seperti apa kepala daerah yang ideal? Adalah mereka yang bisa menyeimbangkan tiga aspek: kebaikan moral, kemandirian politik, dan pragmatisme dalam batas yang wajar. Ia harus mampu mempertahankan integritas personal dan politiknya meski dalam tekanan kepentingan luar.
Mandiri secara politik. Kepala daerah harus mampu membuat keputusan yang independen, berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat, bukan sekadar memenuhi kepentingan pihak-pihak yang mendukung kampanye politiknya. Ini membutuhkan kemandirian finansial yang kuat atau kebijakan pengelolaan dana kampanye yang lebih transparan.
Bermoral dan berintegritas adalah karakteristik berikutnya. Integritas adalah fondasi dari kepemimpinan yang ideal. Kepala daerah yang korup atau terjebak dalam konflik kepentingan akan kesulitan membawa perubahan positif di masyarakat. Oleh karena itu, moralitas seorang pemimpin harus dijaga, meski dalam realitas politik yang sering kali mendorong kompromi etis.
Pragmatis dalam batas yang wajar, apa maksudnya? Tidak bisa dihindari, seorang pemimpin harus pragmatis untuk menghadapi tantangan sehari-hari dalam birokrasi dan politik. Namun, pragmatisme yang terlalu jauh hingga mengorbankan nilai-nilai utama demokrasi dan keadilan akan menghancurkan kepercayaan publik. Seorang kepala daerah yang ideal harus bisa mengelola keseimbangan antara idealisme dan kenyataan praktis.
Berorientasi pada kebaikan bersama. Kepala daerah harus memiliki visi yang jelas tentang pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Semua keputusan yang diambil harus didasarkan pada kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya untuk sekelompok elite.
Untuk mencegah munculnya lebih banyak pemimpin boneka, reformasi struktural dalam sistem politik perlu dilakukan. Salah satunya adalah mengurangi biaya kampanye politik, yang dapat dicapai melalui regulasi ketat terhadap dana kampanye dan peningkatan transparansi dalam sumber pendanaan.
Selain itu, penguatan kapasitas masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses politik, seperti melalui pendidikan politik yang lebih baik, akan memungkinkan masyarakat memilih pemimpin berdasarkan visi dan integritasnya, bukan semata-mata citra atau popularitas yang didanai oleh kelompok berkepentingan.
Pemilih jangan hanya terpesona oleh kampanye dan janji-janji manis. Lihat rekam jejak dan independensi calon. Jika seorang calon terlalu dekat dengan kelompok-kelompok tertentu yang kaya dan berkuasa, masyarakat patut waspada. Pemilih harus menyadari bahwa pemimpin yang ideal adalah mereka yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan sekadar menjadi alat bagi segelintir orang berduit.
Wali kota yang menjadi boneka dari para pemodal tidak hanya merugikan demokrasi, tetapi juga masa depan pembangunan daerah. Rakyat yang seharusnya menjadi prioritas malah terpinggirkan, sementara oligarki semakin kuat.
Jadi, sudahkah kita peduli? Bagaimana rekam jejak calon wali kota yang maju di Pilkada 2024? Siapa saja orang-orang yang berdiri di belakang mereka? Akankah wali kota pilihan Anda mandiri secara politik atau malah tersandera kepentingan orang-orang berduit? (*)[Roy Mawandi]