Oleh : Nur Kholis
Di tengah kehidupan masyarakat yang semakin sulit, akhir-akhir ini kita sering dipertontonkan ulah para politisi yang menjengkelkan sekaligus jenaka, bahkan mengundang gelak tawa. Masifnya pemberitaan soal berbagai macam kasus yang menjeratnya, sedangkan nasib rakyat tak kunjung membaik, seolah menjadi tanda kegagalan para politisi dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Kredibilitas, akuntabilitas, profesional, dan progresivitas yang semestinya diimplementasikan sebagai refleksi dari figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan, nampak semakin jauh dari sikap yang dimiliki para politisi. Sehingga keberadaan mereka tidak berimplikasi banyak dalam birokrasi yang bersifat kerakyatan, yang harusnya mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Banyak para pengamat perpolitikan Indonesia, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi beranggapan bahwa citra politisi di Indonesia terus berada pada titik terendah, dalam artian memperoleh penilaian buruk dari masyarakat.
Runtuhnya citra politisi ini disebabkan oleh semakin maraknya kasus korupsi yang terjadi dalam birokrasi pemerintahan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Dikutip dari antikorupsi.org, kasus korupsi semester I tahun 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 252 kasus yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp33,6 triliun. Sungguh data yang mencengangkan dan membuat masyarakat menelan ludah.
Runtuhnya citra politisi bukan hanya berdasarkan data di atas. Semakin rendahnya etika politik, komitmen, akuntabilitas, profesional, dan progresivitas, turut menjadi faktor lainnya. Saat faktor-faktor ini tidak lagi menjadi motivasi bagi para politisi dalam menjalankan amanahnya, rasanya mustahil untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Menjadi sebuah kewajaran jika masyarakat menganggap adanya para politisi di birokrasi tidak murni untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingannya pribadi, atau malah memperkaya dirinya sendiri.
Politisi dan Kemewahan
Politisi yang bergelimang harta menjadi fenomena yang mencabik batin kemanusiaan. Di tengah hidup pada era demokrasi seperti ini, kebebasan berusaha yang menggunakan segala cara, sering kali dipilih para politisi untuk duduk di suatu jabatan tertentu.
Dengan kekuatan modal yang mereka pakai, menjadi alasan kuat untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya saat sudah berada dalam lingkaran birokrasi. Tentunya, tindakan para politisi tersebut sama sekali tidak mencerminkan “Demokrasi Pancasila” yang secara esensi sangat mengedepankan kepentingan rakyat.
F Holderin (1984) beranggapan bahwa yang membuat neraka di bumi ini adalah manusia yang ingin membuat surga bagi dirinya sendiri. Sebuah anggapan yang patut dibaca ulang para politisi.
Politisi yang Sadar Peran dan Fungsi
Indonesia butuh politisi yang sadar akan peran dan fungsinya. Tidak lain dan tidak bukan, peran politisi adalah menjalankan tugasnya sebaik mungkin, sehingga dapat berfungsi dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik dengan menolak segala bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan negara dan rakyat. Serta, membunuh karakter penindas terhadap kepentingan rakyat.
Penulis beranggapan bahwa ketidakcakapan para politisi dalam menjalankan peran dan fungsinya, merupakan hal yang tidak bisa diampuni, karena hal tersebut berkaitan dengan nasib orang banyak. Tidak hanya bermodal cakap, seorang politisi juga harus rela mengesampingkan ruang privasi yang berkaitan dengan kesenangan pribadi.
Dengan kata lain, politisi harus mau berjuang dan mengabdikan diri untuk mengedepankan kepentingan rakyat, ketimbang kepentingan dirinya sendiri dan golongan. Untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, tipikal politisi demikian yang dibutuhkan rakyat hari ini. Pun untuk tetap menjaga makna baik dari politik tersebut.
Tidak mudah memang untuk mewujudkan ini semua. Akan tetapi, atas kerja keras dari semua elemen, tidak ada yang tidak mungkin. Di tangan para politisi yang ideal dan masyarakat yang kritis akan permasalahan bangsa, pasal 5 Pancasila yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bukan khayalan semata. Namun, akan menjadi kenyataan di masa yang akan datang.