Ramanews|Metro – Bersimbah keringat, tubuh lelaki paruh baya itu disandarkannya perlahan di kursi kendaraan roda tiga miliknya yang terparkir di pinggir Jalan AH Nasution, depan Gedung Sessat Agung Bumi Sai Wawai (GSA-BSW), Kota Metro.
Samar-samar terlihat di balik kaos tipis kusam yang ia kenakan, dadanya masih kembang-kempis setelah mengayuh becaknya. Dengan nafas yang sedikit terengah-engah, dia mengibaskan caping yang semula ia pakai menutupi kepala.
Sembari melepas lelah, pria berusia 54 tahun yang enggan menyebut nama aslinya itu, mulai berbincang-bincang dengan saya yang sudah sekitar 5 menit duduk bersama dua rekan seprofesinya, Pak Adi dan Mbah Rahmat.
“Panggil saja saya Pakde Tompel. Kalau tinggalnya, saya di daerah bedeng 22 sana, di Hadimulyo Timur,” kata Pakde Tompel saat berkenalan dengan saya, Selasa, 13/12/2022.
“Anu, tadi saya keliling-keliling. Yaaah, barangkali aja ada penumpang. Eh, malah dapat capeknya doang. Ya sudah, hitung-hitung olahraga,” timpalnya seraya menyeka peluh yang membanjiri dahi.
Sepi peminat memang sudah setiap hari dialami Pakde Tompel dan dua sahabat karibnya itu, mereka memahami bahwa kemajuan peradaban tak selalu seiring sejalan dengan minat masyarakat terhadap sarana transportasi kuno seperti becak.
“Aku narik becak sudah dari tahun 1989, sebelum mereka berdua ini,” kata Pakde Tompel sambil menunjuk dua rekannya itu.
Dia mengakui, penghasilannya mengalami penurunan dari masa ke masa. Bahkan, tak jarang ia harus pulang tanpa membawa sepeserpun uang.
“Jauh sekali perbedaannya, waktu sekitar tahun 1989 sampai tahun 2000 itu penghasilan masih agak lumayan. Tapi, dari tahun 2000 sampai sekarang ini, walah! Penghasilan berkurang jauh, malah kadang-kadang narik, kadang-kadang nggak sama sekali,” jelasnya.
“Minat orang untuk naik becak berkurang, ya mungkin karena perkembangan zaman juga. Kalah sama ojek online kan. Bukan cuma becak, angkot juga kan sekarang sudah jarang sekali ada yang narik angkot,” timpalnya.
Ya! Memang, era modern seperti sekarang ini secara perlahan kian menggerus penghasilan tukang becak, yang notabenenya menawarkan jasa angkutan dengan mengandalkan tenaga manusia sebagai pengayuh pedal, untuk menggerakkan tiga roda kendaraan asal negeri sakura tersebut.
Semangat tukang becak tidak kendur dengan persaingan, lebih dari itu, bahkan tenaga yang dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan usianya yang kian menua. Meski nyatanya masyarakat modern lebih tertarik dengan keberadaan ojek daring yang menawarkan kemudahan, bahkan hampir di setiap tahun selalu hadir dengan berbagai fitur dan layanan yang menarik.
“Kalau jadi grab misalnya, kita gak ada hape yang sudah android, sama kan kendaraan juga gak punya motor yang bagus. Kalau dagang juga kalau ada modalnya sih ya mau, kalau ada. Sekarang kan pakai modal semua kalau mau dagang kan? Kalau gak ada modalnya gimana dong? Makanya itu jadi bertahan sama profesi sekarang ini. Lagian, kita jauh lebih kuat dari kelihatannya kok,” bebernya.
“Banyak tukang becak kayak saya ini, gak bisa ganti kerjaan karena macam-macam alasan dan sebabnya,” imbuhnya.
Kehidupan Pakde Tompel dan tukang becak lainnya tetap harus dijalani, meski getir dan pahit kerap singgah dan semakin lekat dengan keseharian mereka.
“Tukang becak sekarang sudah ngos-ngosan juga cari penumpang, sudah gak ada. Rata-rata orang bawa kendaraan sendiri-sendiri,” keluhnya lirih.
Meski begitu, Pakde Tompel dan para tukang becak yang lain tetap tekun dan konsisten menjemput rezeki mengandalkan becak tua. Menunggu penumpang dengan mangkal di sejumlah lokasi dan terkadang berkeliling mencari angkutan muatan.
“Becak kalau ada rezekinya ya Alhamdulillah, kalau gak ada ya tetap kita syukuri aja, kan ada rezeki sehat juga, ya kita kan ikhtiar aja,” tandasnya.
Tak keberatan meski harus mangkal di bawah terik matahari, atau terkadang di pinggir jalan di sekitar Taman Merdeka dan Kompleks Pasar Kopindo. Kadang terkena hujan dan selalu dihembus debu jalan raya. Tukang becak tak pantang menyerah mengais rezeki di tengah persaingan dalam kemajuan peradaban.(*)[KikiAnggi]