Ramanews|Jakarta — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengadakan survei terbuka guna mengetahui kondisi para jurnalis perempuan di Lampung. Pelaksanaan jajak pendapat itu berlangsung pada 1-10 Mei 2021.
Tahapannya, menyusun kuesioner dan pengumpulan data sampel, lalu penyebaran kuesioner secara online pada11-16 Mei 2021.
AJI mendata, ada sebanyak 45 jurnalis perempuan di Lampung. Mereka bekerja dipelbagai perusahaan media, baik lokal maupun nasional. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 jurnalis perempuan bersedia mengisi kuesioner. Mereka terverifikasi sebagai jurnalis aktif, dan bukan mantan jurnalis.
Berikut hasil polling kondisi jurnalis perempuan di Lampung dalam keterangan tertulis AJI Bandar Lampung dilansir dari CNNIndonesia.com
37,9 Persen Jurnalis Perempuan Terima Upah di Bawah UMP
Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung ditetapkan sebesar Rp 2.432.001. Hasil polling, 10 dari 30 jurnalis perempuan menerima upah sekitar Rp 1 juta-Rp 2,3 juta. Kemudian, satu jurnalis perempuan mendapat upah kurang dari Rp1 juta/bulan. Artinya, sekitar 37,9 persen jurnalis perempuan menerima upah di bawah UMP.
Selebihnya, 63,3 persen sesuai UMP. Lalu, 13 jurnalis perempuan mendapat upah sekitar Rp2,4 juta-Rp3,7 juta. Kemudian, empat jurnalis perempuan diupah Rp3,8 juta-Rp5 juta, serta dua jurnalis perempuan menerima upah lebih dari Rp5 juta per bulan.
Sisi lain, dua dari 30 jurnalis perempuan pernah mengalami pemotongan upah.
Selanjutnya, sebanyak 20 jurnalis perempuan (66,7 persen) mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaan. Sisanya, 10 jurnalis perempuan (33,3 persen) tidak memperoleh jaminan kesehatan.

Adapun yang mendapat jaminan ketenagakerjaan sebanyak 17 jurnalis perempuan (56,7 persen). Selebihnya, 13 jurnalis perempuan di Lampung (43,3 persen) tidak memperoleh jaminan ketenagakerjaan dari kantor.
Ketika ditanyakan soal cuti hamil, sebanyak 13 dari 30 jurnalis perempuan (43,3 persen) menjawab iya. Namun, terdapat satu jurnalis perempuan yang tidak mendapatkan hak cuti hamil. Sisanya, 16 orang menjawab belum pernah hamil.
73,3 Persen Jurnalis Perempuan Pernah Dapat Pekerjaan Tambahan
Selain memenuhi pekerjaan utama, sebanyak 22 jurnalis perempuan (73,3 persen) pernah mendapatkan pekerjaan tambahan. Dari angka tersebut, hanya 12 jurnalis perempuan yang mendapatkan upah tambahan. Sisanya, 45,5 persen (10 jurnalis perempuan) tidak menerima upah tambahan.
Peningkatan Kompetensi dan Karir
Di tempat bekerja, 20 dari 30 jurnalis perempuan yang disurvei mendapatkan peningkatan kompetensi, seperti pelatihan. Sisanya, 10 jurnalis perempuan (33,3 persen) tidak memperoleh peningkatan kompetensi dari perusahaan media.
Kemudian, sebanyak 25 jurnalis perempuan atau 83,3 persen menyebut terdapat jenjang karier di perusahaan masing-masing. Namun, lima dari 30 jurnalis perempuan (16,7 persen) menyebut tak ada jenjang karier.
Pelecehan Seksual dan Diskriminasi di Kantor
Secara umum, para responden tidak pernah mendapatkan kekerasan fisik di tempat bekerja. Namun, dua dari 30 jurnalis perempuan mendapatkan pelecehan seksual secara verbal atau fisik di kantor.
Tak hanya itu, lima wartawati mengalami diskriminasi dan rasis di tempat bekerja.
Kala menjalankan kerja-kerja jurnalistik, sebanyak 11 jurnalis perempuan (36,7 persen) pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal atau fisik. Kemudian, dua jurnalis perempuan menerima kekerasan, serta sembilan reporter perempuan mengalami diskriminasi dan rasialisme ketika peliputan.
Mayoritas Jurnalis Perempuan Pernah Stres
Sebanyak 26 dari 30 jurnalis perempuan (86,7 persen) pernah stres karena pekerjaan. Hanya empat orang yang tidak pernah mengalami stres.
Lalu, 10 dari 30 jurnalis perempuan (33,3 persen) telah berserikat (bergabung dengan organisasi). Sisanya, 20 jurnalis perempuan di Lampung tidak berserikat.
Setelah mengisi bagian pengalaman, para responden juga diminta menjawab persoalan kondisi terkini yang dirasakan. Metodenya, responden diberi lima pilihan, yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, dan sangat setuju.
Hasilnya, 56,7 persen (17 jurnalis perempuan) tidak setuju bahwa perusahaan mereka tak memenuhi hak-hak pekerja. Lima orang atau 16,7 persen sangat tidak setuju, netral (tujuh orang atau 23,3 persen), dan satu orang setuju.
Jurnalis perempuan merasa berkembang secara pengetahuan di tempat bekerja. Ketika ditanya soal ini, sebanyak 11 orang tidak setuju bahwa mereka tak berkembang. Kemudian, lima orang setuju dan netral sebanyak tiga orang.
Sebanyak delapan wartawati (26,7 persen) merasa beban pekerjaannya tinggi. Sedangkan yang netral sebanyak 13 jurnalis perempuan. Tujuh orang merasa beban pekerjaannya tidak tinggi, serta dua orang merasa beban pekerjaannya sama sekali tidak tinggi.
Beban kerja oleh perusahaan sudah sesuai upah. Tiga dari 30 jurnalis perempuan (10 persen) menjawab sangat tidak setuju. Mereka merasa beban pekerjaan tidak sesuai dengan upah. Kemudian, 11 orang tidak setuju. Sedangkan yang menjawab setuju sebanyak enam orang, dan 10 jurnalis perempuan (33,3 persen) memilih netral.
Pada sudut lain, bagi yang merasa beban kerja tinggi berdampak sering salah dan keliru dalam pekerjaan. Sebanyak 11 orang menjawab tidak setuju dan satu orang sangat tidak setuju. Bagi yang merasa setuju sebanyak delapan orang, sangat setuju satu orang, dan memilih netral sebanyak sembilan orang.(*)